Kamis, 06 Juli 2017

Koperasi dan Sepakbola Indonesia


            Koperasi adalah organisasi ekonomi yang dimiliki dan dioperasikan demi kepentingan bersama. Koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.
            Dengan berkembangnya zaman seperti saat sekarang ini, koperasi di Indonesia sepertinya perlu dan bahkan sangat perlu mencontoh kepada sebuah klub sepakbola seperti Barcelona, Real Madrid, Bayern Munich dan Borrusia Dortmund yang dikelola berdasarkan prinsip koperasi.
Di Spanyol dan Jerman, 50%+1 dari kepemilikan klub sepakbola dimiliki oleh suporter. Kondisi itu membuat suporter memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan bagi klub dan mencegah investor bertindak sewenang-wenang untuk meraup keuntungan. Dimilikinya klub oleh suporter juga membuat suporter memiliki kedekatan secara batin, tak ragu untuk menggelontorkan uangnya bagi klub. Karena itu, fans adalah kunci mengalirnya keuntungan kepada klub-klub Jerman dan Spanyol. Menyakitinya sama saja dengan siap-siap berani menanggung kerugian.  Hal itu yang menjadikan tim-tim Jerman dan Spanyol selalu memberikan pelayanan terbaik untuk para suporter.
Dalam sepekbola modern, suporter adalah sebuah kunci dalam mendulang kesuksesan di industri sepakbola. Kontribusi utama dari suporter seperti pembelian tiket dan merchandise resmi klub. Liga Jerman bahkan menjadi liga dengan peringkat teratas dalam hal rataan kedatangan penonton ke stadion. Borussia Dortmund adalah klub yang stadionnya selalu hampir terisi penuh yang mencapai 95% lebih kedatangan penonton di setiap pertandingannya. Kita bandingkan dengan sepakbola Indonesia, yang terbaru menurut berbagai media olahraga Indonesia adalah kasus Arema FC dengan rataan kedatangan penonton terendah di Liga Gojek Traveloka membuat undian sepeda motor untuk para penonton yang datang ke stadion. Sungguh sebuah ironi ketika industri sepakbola yang harusnya berakar dari penonton sangat sulit untuk ditarik ke stadion.
Di sepakbola eropa, kita tidak pernah mendengar penunggakan gaji atau pemutusan kontrak sepihak karena pemain mengalami cedera. Karena memang kekuatan koperasi demi mewujudkan kepentingan bersama yang tentunya para suporter yang sangat cinta kepada klub tersebut. Kita bandingkan dengan di Indonesia yang banyak sekali kasus penunggakan gaji, yang paling sering disoroti adalah kasus penunggakan gaji dari Arema FC dan bahkan para pemainnya berkeinginan untuk meninggalkan klub karena ketidakjelasan soal gaji. Contoh lain adalah Alfin Tuassalamony seorang pemain muda berbakat Indonesia yang pernah bermain di beberapa liga di Eropa, ketika bermain di salah satu klub sepakbola Indonesia, dia mengalami cedera dan langsung diputus kontrak tanpa adanya kompensasi. Sungguh masih banyak lagi hal-hal yang tidak manusiawi dari sepakbola Indonesia.
Harapan pada masa depan koperasi di Indonesia dapat memiliki klub sepakbola sendiri disetiap daerah. Karena seperti yang kita tahu, bahwa industri sepakbola bisa menggerakan perekonomian sekitarnya. Bukan hanya kontrak pemain, pelatih, tim medis, ataupun staf klub, bahkan sampai para pedagang yang berjualan diarea stadion saat pertandingan berlangsung. Mengingat antusiasme sepakbola yang sangat besar dari masyarakat Indonesia, tentunya bukanlah sebuah harapan kosong ketika koperasi sepakbola mampu menggerakan ekonomi Indonesia dan ini pun sesuai dengan landasan kegiatan koperasi untuk gerakan ekonomi rakyat.




Rabu, 15 Februari 2017

Cinta, Sesal, dan Kehilangan

Menikmati mentari pagi memang selalu menyenangkan, apalagi dimasa banyaknya tugas kuliah dan organisasi seperti ini, nyanyian burung diranting pohon pun semakin menambah kesejukan menghirup nafas alam ciptaan-Nya pagi ini.
“Wil, ngapain bengong ngeliatin matahari gitu?”, ucap Raiyen membangunkanku dalam lamunan. “Eh, engga Rai, aku cuma terkesima aja dengan mentari pagi ini. Setelah beberapa hari kita selalu kesini hanya untuk melihatnya terbit, dan akhirnya hari ini tercapai.”, sahutku sambil masih tersenyum menatap sang mentari yang indah itu. Memang sudah hampir seminggu ini kami selalu kesini. Tapi sayangnya, setiap pagi selalu aja ada kabut yang menghalangi pemandangan indah sang mentari. Dan akhirnya hari ini kami berhasil untuk menikmatinya.
“Iya juga yaa, mungkin karna sekarang sedang musim penghujan. Ini minum dulu, sedikit menghangatkan badan.”, Raiyen menyodorkan segelas teh hangat. “Lumayan juga teh bikinanmu Rai.”, ucapku sambil terus menikmati mentari. “Bisa saja kamu Wil, gimana perkembangan kedekatan kamu dengan bendahara manis itu?”, ucap Raiyen yang membuatku terdiam.
“Rai, Wil buruan balik, aku ada praktikum pagi ini.”, sorak David memecah keheningan. Aku dan Raiyen pun segera berkemas untuk kembali ke habitat kami sebenarnya sebagai mahasiswa. Selama diperjalanan aku selalu terpikir akan kata-kata Raiyen tadi, “Gimana sih sebenarnya perasaanku sama dia? Ah, sudahlah toh kalo emang jodoh gabakal kemana.”, ucapku dalam hati.
Dua hari berlalu, kehidupan sebagai mahasiswa kura-kura memang sangat menyita waktu dan melelahkan. Terlebih lagi semester ini aku terlalu banyak mengikuti kegiatan dikampus. Apalagi kegiatan terakhir ini benar-benar menyita pikiranku, bukan hanya karena aku dipercaya untuk memegang kegiatan ini, tapi juga karena dia si bendahara manis yang akhir-akhir ini sering membuatku gagal fokus oleh senyumannya semenjak aku dan dia mencari sponsor ke daerah tetangga yang lumayan jauh. Hari ini kami kembali dijadwalkan untuk mencari sponsor berdua, walau ke daerah sekitaran kampus.
Singkat cerita, setelah capek keliling buat cari sponsor. Kami memutuskan untuk makan berdua di kedai ramen, sekalian karena aku juga lagi ngidam makan ramen. Sambil menunggu makanan datang, aku berbincang dengannya, “Ternyata gini yaa rasanya nyari sponsor.”, ucapku karena di kegiatan sebelumnya dia tergabung di divisi sponsorship. “Yaa, begitulah Wil. Ngomong ini itu, ujung-ujungnya dia bilang gaada dana untuk support acara kita.”, sahutnya. Walaupun kesal karena gaada progress hari ini, lagi-lagi senyumannya buat aku jadi semangat lagi untuk menyukseskan acara ini. “Hei Wil, jangan ngelamun, makanannya datang nih.”, dia mengagetkanku yang terkesima dengan senyumannya. “Eh, iya, eh gimana nih sumpitnya, eh gimana, aduh ….”, ucapku gugup karena ketahuan memperhatikan yang benar-benar mengalihkan duniaku. “Kenapa sih Wil? Kok jadi salting gitu sih? Sampe-sampe gabisa make sumpit.”, ucapnya seraya tertawa kecil. “Eh, gapapa kok. Sok lanjutin makannya.”, jawabku dengan wajah yang begitu malu. Tak lama setelah itu kamipun pulang.
“Makasih yaa hari ini udah mau nemenin aku buat cari sponsor sana-sini.”, ucapku untuk memulai chattingan malam ini. “Iya Wil, toh itu juga salah satu tugas aku kan sebagai bendahara.”, balasnya walau agak lama. Semenjak itu kami jadi sering chattingan, hampir tiap hari selalu ada cerita yang kami ceritakan, bahkan setelah kegiatan ini selesaipun kami masih sering chattingan. Chattingan yang absurd berhari-hari itu sepertinya benar-benar menumbuhkan rasa sayangku pada sosok yang menjadi bendahara kegiatan terakhirku tahun ini.
Setelah sebulan kedekatan ini, perlahan dia mulai berubah. Gak se-care biasanya dan hanya jawab dengan jawaban-jawaban singkat. Sebelum dia benar-benar menjauh, aku beranikan diri untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan, siang itu aku kerumahnya dengan alasan kegiatan yang baru selesai sebulan yang lalu. Memang untuk sedikit menyangkut kegiatan itu. Lalu aku mengajaknya jalan siang ini, walau dengan banyak alasan, akhirnya dia mau untuk diajak jalan siang ini. “Masuk dulu aja Wil, aku mau shalat dulu, ada Ibu kok didalam.”, ajaknya sebelum dia shalat. “Gausah deh, aku tunggu disini aja.”, jawabku sedikit parno untuk masuk kerumahnya.
Selesai dia shalat, kamipun langsung jalan. “Kita mau kemana Wil?”, tanyanya. “Makan siang dulu aja yaa, aku belum makan nih dari pagi. Sambilan mikir kita mau kemana.”, jawabku. Tak berapa lama setelah sampai ditempat makan, hujan pun turun. Setelah hujan reda, aku mengajaknya ke bukit dimana aku menikmati mentari terbit beberapa bulan yang lalu. Walau dengan agak berat hati, akhirnya dia mengiyakan ajakanku.
Sesampainya di bukit itu, cuaca mendung dan sedikit gerimis. Aku duduk disamping sambil memandang kota tempat kita kuliah. “Sebenarnya akhir-akhir ini, sebulan ini, gatau kenapa kamu selalu ada dipikiran aku. Aku sayang kamu!”, ucapku sambil mengeluarkan setangkai mawar pink, yang memang warna kesukaannya. “Kamu bercandakan? Maksudnya seperti sayang ke yang lain? Seperti ke sekretaris, acara, humas, dll kan?”, ucapnya sedikit ragu dengan kata-kataku. “Bukan, kamu pasti merasakan perhatian lebih dari aku, kamu pasti merasakan ada yang berubah dari sikap aku.”, jawabku. “Iya, aku rasain kok.”, ucapnya sambil mencium mawar itu. Hujanpun kembali turun, dan kami putuskan untuk langsung pulang, karena waktu maghribpun makin dekat.
Akhirnya sampai dirumahnya tepat diwaktu maghrib, dan dengan kondisi rok yang dia pakai begitu kotor, dan aku juga langsung pulang ke kosan dengan kuyup oleh hujan.
Malam itu aku langsung chat dia, “Makasih yaa udah nemenin aku main hari ini, hujan-hujanan, kotor-kotoran, basah-basahan, dan ngos-ngosan naik bukitnya. Makasih banget deh pokoknya, dan kata-kataku tadi pas ngasih bunga tadi itu serius dan ga boong sama sekali.”. Dia hanya membalas dengan tawa “wkwkwk” dan malam itu pun berlalu.
Paginya aku kembali chat dia, “Semalem kamu gadimarahinkan?”. “Engga kok, siap-siap shalat jum’at gih!” jawabnya sambil menyuruhku siap-siap untuk shalat jum’at. “Siap Buk!”, balasku. Dan ini menjadi chattingan terakhir aku dengannya, karena seminggu lebih aku chat dia gapernah dibalas, dan hanya di read. “Harusnya aku masuk waktu dia nyuruh masuk, harusnya aku salaman dan kenalan sama Ibunya, harusnya aku pamit dulu sebelum berangkat, harusnya aku gaajak dia hujan-hujanan dan kotor-kotoran, harusnya aku gangantar dia pulang selarut itu. Ahhh! Bodoh! Bodoh! Bodohnya kamu Wil!”, sesalku dalam hati. Tapi walaupun chat gadibales aku tetap usaha, dan akhirnya aku beranikan diri kerumahnya tanpa bilang dulu mau kesana.
“Assalamu’alaikum!”, sorakku sambil ngetok pintu. “Eh Wil, ada apa kesini? Gabilang-bilang dulu.”, ucapnya kaget melihatku dirumahnya. “Gapapa, aku cuma mau tau keadaan kamu aja, kamu baik-baik aja kan?”, jawabku. “Iya, baik aja kok. Sini masuk dulu, gaada orang sih dirumah.”, jawabnya seraya mengajakku untuk duduk diruang tamu. “Gausah didepan sini aja. Kamu kok gabales-bales chat aku sih?”, tanyaku langsung to the point. “Gapapa kok, aku bingung aja mau balas apa.”, jawabnya. Tiba-tiba Ibunya pulang, dan langsung ngomong “Tamu kok gadisuruh masuk sih?”. “Iya, gaenak tadi kan gaada orang dirumah.”, jawabnya. Dan akhirnya aku masuk keruang tamu dan kenalan sama Ibunya.
Obrolan kami berlanjut diruang tamu, “Kalo kamu berubah, karena aku omongan aku yang waktu di bukit itu. Dilupain aja, anggap aja aku gapernah ngomong itu.”, ucapku memecah keheningan. “Iyaa siap.”, jawabnya. Kamipun ngobrol sampai sore, dan akupun pamit pulang.
Hari-hari selanjutnya kita hanya chattingan hal yang penting aja, gakayak dulu waktu aku terjebak mencintainya. Sesalku sampai hari ini, “AKU KEHILANGAN SESEORANG YANG AKU SAYANGI KETIKA DIA TAHU KALAU AKU MENYAYANGINYA.”.

Rabu, 04 Februari 2015

Kenangan Kita Tentang Es Krim

Takdir, aku percaya itu sepenuhnya.Pertemuan dan perpisahan, adalah bagian dari takdir. Tak ubahnya kebahagiaan yang menghampirimu saat kau bersama orang yang kau sayangi. Tapi saat takdir itu membuatku menangis, jatuh, terpuruk, aku tak ingin mempercayainya, aku ingin percaya bahwa itu hanyalah suatu kebetulan. Tapi nyatanya, di dunia ini tidak ada kebetulan, hanya ada takdir.
Sore ini, kuintip jendela kelasku, kulihat semburat warna langit yang cerah berwarna orange. Indah, tapi tak begitu kusuka, menurutku warnanya membuat hatiku sendu, sedih. Ku berjalan dari ruang kelasku, melewati koridor menuju halaman depan.
Tak terlalu kuperhatikan jalan maupun orang-orang di sekitarku yang berhamburan ingin segera pulang ke rumah masing-masing, setelah kegiatan ekstrakurikuler yang melelahkan, maupun karena jam tambahan.
Tiba-tiba, aku merasakan diriku menabrak sesuatu, bukan tembok, karena kurasakan ada sebuah tangan yang menahan pinggangku hingga aku tak melesat ke tanah. Lalu tangan itu membantuku membenarkan posisiku hingga aku berdiri dengan normal lagi.
“Rose?” sosok familiar di depanku memberiku ekspresi penuh tanya, suaranya begitu lembut dan perhatian
“Ah, Sam...” nadaku lemah, mungkin ekspresiku sangat buruk sekarang
“Kamu mau pulang?” seakan membaca pikiranku, ia tau bahwa aku tak ingin membicarakan tentang hal yang akhir-akhir ini ditanyakan orang padaku, tentang Nara.
“Iya, mungkin jalan kaki. Aku ngga bawa mobil hari ini.”
“Mau aku anter?”
“Tapi, aku lagi pengen jalan kaki.”
“Aku temani?”
“Mobilmu?”
“Aku telfon orang buat ngambil” ia menatapku lekat-lekat “ya?”
“Oke”
Lalu kami berjalan, diam, namun sama sekali bukan diam yang kikuk. Namun diam yang seakan-akan memanggil kembali memori di masa kecil kami, saat kami selalu pulang sekolah bersama, terkadang kami main hingga petang, lalu ia dimarahi ibuku , tapi herannya ia selalu tertawa setelah dimarahi, seakan tidak menyesal telah mengajakku bermain hingga petang. Dan lebih herannya lagi, ibuku pun selalu mengijinkanku bermain bersamanya.
Dulu kami selalu bersama, bermain, sekolah, belajar di rumah, hampir setiap waktu kami selalu bersama.
Masih tersimpan jelas di memoriku saat-saat ia selalu menjagaku, ia melindungiku dari sekelompok anak nakal yang ingin merebut es krim-ku. Dengan berani, ia menyuruh mereka untuk berhenti menggangguku, ia sangat berani, walaupun tau ia kalah jumlah. Sebaliknya, aku sangat pengecut, hanya bisa menangis dan mengintip dari balik bahunya. Mereka memang tidak jadi merebut es krim-ku, namun sebagai gantinya mereka mengajak Sam berkelahi, keroyokkan. Mereka mendorong Sam hingga menabrakku dan menjatuhkan es krim-ku, lalu aku menangis keras, hingga merebut perhatian orang-orang, dan anak-anak itu pun kabur. Lalu Sam menghampiriku dan berkata ‘Rose, maaf, es krim-mu jatuh. Aku beliin lagi ya? Jangan nangis.’
Aku menghentikan langkahku saat kami tiba di sebuah taman yang dipenuhi bunga matahari. Tempat ini belum berubah, tempat dimana dulu kami sering bermain kemari saat masih duduk di bangku SD. Kupandangi hamparan bunga matahari yang terlihat lebih indah saat terkena cahaya matahari yang hampir terbenam.
“Rose?” Sam menghentikan langkahnya, lalu berjalan menghampiriku dan berhenti tepat di hadapanku.
“Kamu inget ngga, dulu kita sering main kesini?” aku tersenyum lemah, mengingat masa kecil kami. Ia mengangguk.
“Kamu ngga apa-apa kan?” raut wajahnya sama seperti biasa, raut wajah yang selalu mengkhawatirkanku “Rose?”
“Nara-“ kurasakan kedua mataku panas, pandanganku kabur, dan baru sadar bahwa aku sedang menangis saat kurasakan air mataku jatuh, membasahi pipiku. “Aku putus sama dia...”
Ia menyodorkan sapu tangan padaku, lalu diusapnya pipiku menggunakan sapu tangannya. “Aku tau...” jawabnya.
“Aku tau, papanya ngga pernah setuju sama hubungan kami. Tapi, dia ngga pernah sekalipun nyoba buat ngeyakinin papanya, ngga pernah sekalipun ngijinin aku buat ngambil hati papanya biar dia bisa nyetujuin hubungan kami.” Air mataku mengalir deras tak terkendali “Akhirnya... Akhirnya dia lebih miilih buat ninggalin aku. Padahal, kami sama sekali belum pernah nyoba buat ngeyakinin papanya, belum pernah sekalipun...” setelah ia membiarkanku menangis untuk beberapa saat, akhirnya ia mulai bicara... “Rose... Aku senang kamu putus sama Nara.” Mataku terbelalak, nafasku tertahan untuk sesaat, kupandangi ia dengan tatapan tak percaya.
“Sam??” kusipitkan mataku, menuntut jawaban.
“Aku senang kamu putus ama dia. Tapi, aku ngga bisa liat kamu sedih, nangis.” Aku bingung, apa yang sedang ia bicarakan?’“Apa kamu inget? Dulu, waktu kita kecil, kamu sering banget nangis. Tapi kamu langsung diem kalo aku kasih es krim.” Ia tertawa kecil, lalu tersenyum dan memandangku lembut.
“Iya...” aku pun tersenyum, mengingat kembali memori tersebut dan mengabaikan kebingunganku “Aku juga inget, dulu aku pernah jatuh pas kita main kejar-kejaran. Lututku berdarah, trus nangis.” lalu Sam di masa kecil menghampiriku dengan ekspresi penuh kekhawatiran ‘Rose? Sakit ya? Jangan nangis...’ aku yang cengeng, bukannya diam malah menangis semakin keras. Lalu ia menawarkanku untuk naik ke punggungnya ‘Ayo, aku gendong kamu pulang.’ Dan ia benar-benar menggendongku ke rumah, namun berhenti di jalan untuk membelikanku es krim, dan aku menikmati es krimku sembari digendong olehnya, melupakan rasa sakit di lututku.
“Tapi kamu udah jarang nangis sejak masuk SMA. Sejak kamu kenal Nara, sejak kamu mulai jauh dari aku, sejak kita ngga pernah main berdua lagi.”
“Sam...”
“Aku ngga tau, aku harus seneng ngeliat kamu bahagia, atau harus sedih kita ngga bisa main bareng kaya dulu lagi.” Ia tersenyum sedih “yang aku tau, aku ngga suka liat kamu nangis. Aku rela ngapain aja, mbeliin kamu es krim sebanyak mungkin, atau apapun, asalkan kamu ngga nangis.”
“Kenapa?”
“Karena, kalo kamu sedih, aku juga sedih.” Ia menempelkan telapak tangan kanannya pada dada kirinya “Di sini, jadi sakit.” Lalu diraihnya kedua tanganku, dan ditatapnya mataku lekat-lekat “Aku ngga mau kamu sedih, Rosalie...” Ia tetap sama dengan Samuel yang dulu, Samuel yang aku kenal sejak kami berumur 6 tahun, Samuel yang selalu mengkhawatirkanku, menjagaku, dan mengatakan ‘jangan nangis, Rose...’ atau ‘aku beliin es krim, ya?’ untuk membuatku berhenti menangis. Lalu aku sadar, kalau selama ini aku melakukan kesalahan, kesalahan yang tak termaafkan. Karena aku telah mengabaikannya selama dua setengah tahun terakhir, walaupun aku tak berniat demikian. Aku hanya terlalu sibuk dengan cinta pertamaku, Nara. Dan lambat laun aku semakin jauh dari Sam, frekuensi pertemuan kami berkurang, dan akhirnya benar-benar tak saling bicara. Benar-benar mengabaikannya, seseorang yang selalu ada di sampingku, yang selalu mengkhawatirkanku, yang selalu menjagaku, seseorang yang ternyata sangat kubutuhkan. Seseorang yang ternyata punya tempat di hatiku, bahkan menempati posisi yang lebih penting dari Nara, pacar pertamaku.
“Bego...” tangisku semakin keras
“Eh???” kali ini dia benar-benar kebingungan. Kulepaskan kedua tanganku yang ia genggam untuk menutup wajahku dan menangis sejadi-jadinya
“Kamu bego, Sam!!!”
“Hah?” kedua alisnya tertaut
“Kenapa ngga bilang kalo kamu suka sama aku???” kutoyor kepalanya dengan tangan kananku, lalu aku tertawa, sambil menangis.
“Aku...” ia mengusap dahinya, kedua matanya memandangi tanah di bawah kami. Pipinya memerah.
“Hahahahaaa”
“Apa?” ia memandangiku lagi, pipinya masih merah.
“Ekspresimu sekarang persis cewek-cewek pemalu yang ada di komik waktu ketemu cowok yang disukai.” Kuseka air mataku, entah air mata kesedihan yang tadi, atau air mata akibat aku menertawainya.
“Aku suka kamu” kali ini pipinya sudah tidak lagi memerah, ia memandangku lekat-lekat lagi.
Aku berhenti tertawa, lalu tersenyum, kupandangi kedua matanya, lalu aku menghambur ke pelukkannya, dan kembali menangis.
“Bego!!!”
“Lho?” meskipun bingung, namun ia balas memelukku, kemudian tersenyum, dan aku tau aku tidak perlu menjawab pernyataan suka darinya, aku tau ia akan selalu ada di sisiku (kali ini di pelukkanku), menjagaku seperti biasa, melindungiku, menghiburku agar tidak menangis..... “Kamu mau es krim?” kujawab pertanyaannya dengan senyuman, dan kugandeng tangannya, lalu kami berjalan pulang(kami mampir ke toko es krim di perjalanan pulang).

Selasa, 09 Desember 2014

Akuntansi Jalan Hidupku

Sang fajar mengintip di balik gunung dan mulai memancarkan sinarnya, di temani segelas susu hangat pikiranku melayang jauh memikirkan universitas yang akan aku tempati mendaftar. Suara mobil yang berlalu lalang di depan rumah dan dentuman bola volly yang di mainkan pemuda kampungku terdengar sayup-sayup di telinga karena pikiranku sudah tidak terpusat lagi di tempatku yang sekarang ini, pikiranku jauh melayang menyeberang pulau di temani dengan secangkir susu hangat.
Setelah kelulusan kemarin aku langsung mendaftar di Universitas Jendral Soedirman yang aku inginkan, dengan nilai yang begitu memuaskan dengan bangga kuperlihatkan ke orang tuaku, senyum yang tersungging di bibir mereka membuat aku begitu senang karena aku sudah berhasil membahagiakan kedua orang tuaku. Lulus dari sekolah standar nasional penyelenggara pendidikan budaya dan berkarakter bangsa di kabupaten Merpati dengan nilai yang memuaskan.
“Mudah-mudahan aku bisa mendapatkan universitas yang bagus dengan nilaiku ini,” gumamku.
Ayahku membangunkan aku dari lamunanku, ayahku yang sekarang sudah tampak beda, satu persatu rambut putih mulai tumbuh di kepalanya, badannya yang dulu tegap perlahan sudah membungkuk.
“Bagaimana nak, kamu sudah menentukan mau masuk universitas mana?” tanya ayahku.
“Belum Yah, aku masih bingung mau masuk universitas mana dan jurusan apa, mungkin ayah punya saran buatku,” kataku.
“Kalau ayah pingin kamu masuk UNRI dengan jurusan AKUNTANSI, kalau masalah biaya tidak usah kamu pikir ayah dan kakak-kakakmu sudah siapkan semua kebutuhanmu” kata ayahku sambil menyeruput kopinya.
“Aku tak suka dengan saran Ayah!, Aku tak mau tetap di SUMATERA .” Sahutku.
“Lho kenapa SUMATERA sekarang kan sudah makmur nggak kaya dulu lagi yang dibayang-bayangi selalu oleh JAWA. ” Ayah menyambung ucapanku.
Dari kecil aku sudah bercita-cita ingin menjadi seorang AKUNTAN di Universitas bagus mungkin ayah sudah tahu akan hal itu, menurut ayah bagaimana kalau aku mengambil AKUNTANSI UNSOED atau ADMINISTRASI NEGARA UNSOED?” tanyaku.
“Kalau memang menurut kamu itu bagus, ayah menurut saja. Tapi, kamu biayai hidupmu sendiri sampai kuliahmu selesai,” kata ayah sambil membawa cangkir kopinya masuk kedalam rumah dan meninggalkan aku sendiri di teras rumah.
Ayahku memang tak setuju dengan keputusanku untuk melanjutkan kuliah di UNSOED. Namun diam-diam aku mendaftar tetap mendaftar disana tanpa sepengetahuan orang tuaku. Hasil Ujian Tesnya aku diterima, aku merasa senang tinggal masalah biaya sekarang. Aku tak tahu bingung harus ngomong apa sama orang tuaku. Aku mulai mencoba bercakap-cakap dengan orang tuaku.
“Yah, maafin aku ya soalnya, aku nggak ngomong dengan ayah kalau aku daftar di Universitas yang aku minati yaitu UNSOED dan hasilnya aku diterima…(belum selesai aku ngomong Ayah sudah marah-marah dan aku tak jadi melanjutkan omonganku tadi).
Dari sejak dulu memang ayah tak setuju dengan keputusanku. Ayahku hanya ikhlas membiayaiku kuliah di AKUNTANSI UNRI titik gak pake koma. Akhirnya aku menuruti permintaan Ayahku untuk melanjutkan studi di UNRI. Waktu SNMPTN aku dulu mendaftar di UNSOED mengambil AKUNTANSI. Pilihan pertamaku AKUNTANSI, pilihan keduaku ADMINISTRASI NEGARA dan pilihan terakhirku UNP SENDRA TASIK. Namun aku nggak di terima di jalur SNMPTN. Aku harus ikut di jalur SBMPTN. karena aku ingin sekali lulus di UNSOED. Aku juga diam-diam daftar di Sekolah Vokasi-Universitas Gadjah Mada jurusan EKONOMI TERAPAN namun juga tak diterima. Aku putus asa nggak mau melanjutkan kuliah kalau di UNRI, namun tetap dipaksa orang tuaku untuk melanjutkan kuliah langsung nggak boleh mogok, Universitas Negeri Padang sudah tutup, tinggal Universitas Swasta yang masih membuka pendaftaran. Aku didaftarkan Ayahku di Akuntansi Universitas Putra Indonesia YPTK Padang Gelombang III tanpa sepengetahuanku, tahunya aku hanya dikasih kartu pendaftaran dan aku tes pada tanggal yang telah ditentukan. Aku semakin sebel dengan keputusan Ayah.
“Aku nggak mau kuliah Ayah! Aku nggak mau di paksa, toh kalau aku mau kuliah tahun depan aja tapi maunya di UNSOED!” pintaku.
“Pokoknya kamu harus ikut seleksi masuk AKUNTANSI UPI YPTK PADANG nak, Ayah mohon!” Ayah membujukku.
“Oke, kalau itu kemauan Ayah” jawabku tegas. Aku sebenarnya nggak serius dalam ujian masuk AKUNTANSI UPI YPTK PADANG tapi kok aku diterima, sehingga aku harus mengikuti tes wawancara segala. Hasil pengumuman tes wawancara pun aku dinyatakan diterima jadi aku resmi menjadi mahasiswa AKUNTANSI UPI YPTK PADANG dengan berat hati karena orang tua. Orang tuaku senang mendengar berita ini tapi hatiku.
Hari-hariku di perkuliahan bener-bener di dongkrak untuk menjadi seorang AKUNTAN profesional. Yah, aku jalani aja semua ini mungkin ini memang jalan terbaik untuk masa depanku. Semakin lama semakin aku yakin bahwa ini jalan yang paling paik yang diberikan Tuhan Yang Maha Bijaksana.
Tak terasa 2 semester sudah berlalu dan sekarang sudah akhir semester 3 sebentar lagi aku memesuki semester 4, harapanku aku akan lulus dari AKUNTANSI UPI YPTK PADANG dengan gelar William Aziz S.E.Ak suatu saat nanti dan cepat menjadi AKUNTAN PROFESSIONAL sehingga aku bisa membahagiakan kedua orang tuaku.

Sabtu, 06 Desember 2014

Ketika Bung Karno Terusir dari Istana Negara

 "Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno, 1967).
Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dam MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam.
Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!".
Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu" kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka pergi ke rumah Ibu".
Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi "Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara". Kata Bung Karno
Bung Karno lalu melangkah ke arah ruang tamu Istana, disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan karena para ajudan bung karno sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara.
Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.
"Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". tegas bung karno kepada ajudannya.
Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. "Pak kami memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya".
Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..."
Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini". Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan.
Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan diambil oleh tentara.
Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar.
Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Maulwi Saelan ( pengawal terakhir bung karno ) dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan.
"Aku pergi dulu" kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan separuh berteriak.
Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman.
Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi.
Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri gadis Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang.
"Aku pengen duku, ...Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo.
Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih " sahut tukang duku dengan logat betawi kental.
Bung Karno dengan tersenyum senang berkata "coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak "Bapak...Bapak....Bapak...Itu Bapak...Bapaak" Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan" Ada Pak Karno, Ada Pak Karno...." mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno
Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri, berangkat ....cepat" perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah.
Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!
Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri.
Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis.
Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. "Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden" kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya.
Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya.
"Lhol, Mbak Rachma ada apa?" tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggenggam tangan Rachma lalu dengan menggenggam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto.
"Lho, Mbak Rachma..ada apa?" kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawar di Wisma Yaso.
Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi.
Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapikan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno.
Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar mardjono hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi.
Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberapa orang diketahui diceritakan nekat membebaskan Bung Karno.
Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.
Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak.
Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak "Hidup Bung Karno....hidup Bung Karno....Hidup Bung Karno...!!!!!"
Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik.
Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau.
Ia berteriak " Sakit....Sakit ya Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.
Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno.
"Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" ujar istri bung hatta.
Hatta menoleh pada isterinya dan berkata "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kami itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini".
Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.
Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah.
Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno dalam bahasa Belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil.
Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada.
Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.
BUKAN TULISAN SAYA !!!

Jumat, 05 Desember 2014

Perahu Cinta

Semilir angin malam ini, terasa langsung merasuk sukma ku. Dingin dan diiringi percikan air hujan yang mulai membasahi rumah ini. “Willy, besok kamu UJIAN PRA-UN kan?” sorak ayah pada ku. “Iya ayah” sahutku lemas. “Besok ujian kok masih belum belajar, ntar ujiannya gak bisa kejawab. Yok, belajar lagi sana.” nasehat ayah lembut. “Iya, aku ke kamar dulu yah.”.
Sampai dikamar pun aku gak bisa fokus buat belajar, padahal besok udah UJIAN PRA-UN. Entah kenapa hati ini selalu memikirkan dia, dia yang selalu memberiku dorongan, memberiku motivasi, memberiku semangat untuk berjuang. Tapi, mungkin hanya sebatas itu, tidak lebih. Mungkin hanya aku yang bodoh, selalu memikirkannya, membayangkan wajahya, dan semua tentang dia. Sedangkan dia, memang benar dia tau aku. Tapi, aku tak kenal dia. Rumahnya saja aku tak tau. Dan aku pun rela membuang waktu ku yang harusnya untuk belajar, malah aku pergunakan untuk memikirkannya. Aku sangat cinta dia, tapi aku tak tahu bagaimana dia. Entah cinta atau tidak.
Mentari pun bersinar menerangi jendela kamarku, bersamaan dengan kokokan ayam memaksaku untuk bangun. Hari ini hari ujuian pertama, tanpa persiapan aku lenggakkan kaki kesekolah. “Wil, lu udah baca SOSIOLOGI kan? Ntar ujian SOSIOLOGI lho.” sambut Hamdan sesampainya aku dikelas. “Huft, SOSIOLOGI. Pelajaran yang paling sulit di jurusan kita.” jawabku. “Udah lu baca belum?” ulang Hamdan. “Gue semalam gak bisa tidur Dan, gue kepikiran dia mulu. Gimana mau belajar.”.
Bel masuk pun berbunyi, kami bergegas duduk untuk bersiap menjalani ujian. 30 menit ujian, hanya terjawab 10 soal. 1 jam, hanya siap 25 soal. Tinggal 5 menit baru selesai 35 soal. Tanpa pikir panjang aku langsung hitamin aja semua soal yang belum terjawab. “Inikan baru PRA-UN, buat apa terlalu serius” gumamku.
Akhirnya ujian selesai, walau anak-anak kelas XI gak hadir. Tapi, hari itu dia hadir. Karena ada pelajaran tambahan maklum udah mepet juga mau UTS. Aku yang hanya penggemar rahasianya atau yang lebih keren dipanggil SECRET ADMIRER. Berusaha untuk selalu dapat melihatnya dari dekat. Walau aku tahu, dia tak mengenaliku yang kuper ini. Aku hanyalah murid yang tidak dikenal di sekolah ini, aku bukanlah apa-apa dibandingkan dengan Rion yang cool, ganteng, putih, tinggi, perfect-lah pokoknya.
Selepas dia lewat dihadapanku, dan masih tercium wangi parfumnya. Dalam khayalanku, aku melayang membayangkan paras cantiknya. Aku terkejut, ternyata dia bertemu dengan Rion. “Dia kan masih jomblo, kenapa dia ketemu sama Rion ya? Ada hubungan apa mereka?” pikirku.
Aku memata-matai mereka, “DUARRR” bagaikan petir menyambar tubuh ini. Ternyata Rion menyatakan cinta pada gadis yang ku suka, tepat dihadapan mataku. “Maukah kau menjadi pacarku?” ungkapan rasa Rion pada gadis yang kusuka sambil mencium tangannya yang terlihat lembut. “Apalah arti diriku dibandingkan dia? Dia yang menjadi selebriti disekoalh ini” gumamku sambil tertegun melihat kejadian itu. “Tentu aku mau Kak Rion, aku juga sudah lama suka sama kamu kak.” jawab gadis pujaanku. Sayangnya dia tak tahu betapa bangsatnya Rion yang PLAYBOY ini. Aku sedih, gadis pujaanku menjadi main-mainan Rion.
2 minggu berlalu, aku kehilangan semangat dalam hidupku. Hari-hari dalam hidupku bagaikan neraka. Setiap hari melihat dia gadis yang ku sayang selalu didekati Rion yang bangsat itu. Tiap hari Rion apel ke kelasnya, hatiku bagaikan teriris. Tapi, apalah dayaku. Aku hanyalah seseorang yang tak dia ketahui, atau mungkin tak pernah ada dalam hidupnya.
Tepat 3 minggu 2 hari mereka jadian, aku melihat Rion selingkuh dengan Rea. Hati sedikit lega. Walau aku tahu gadis yang aku sayang akan tersakiti dengan hal ini. Aku meminta Hamdan untuk ngomong sama gadis pujaanku bahwa Rion selingkuh, secara Hamdan lebih famous dibandingkan aku. “Dan, lu bilangin donk sama dia kalo Rion selingkuh sama Rea!” pinta ku. “Emang kalo gua bilang sama dia, apa untungnya buat gua?” jawab Hamdan. “Yaudah, gak usah lu bilang deh.” sahutku lesu. “Becanda kok, masa gua gak mau bantuin sahabat baik gua. Tenang ntar gua bilang.”
Keesokkan harinya, “Gimana Dan? Dia percaya?” tanyaku dengan penuh pengharapan. “Dia gak percaya Wil, katanya ini pasti akal-akalan gua aja. Ternyata Rion udah bilang sama dia, kalo Rion cuman temen sama Rea.” Jawab Hamdan muram. “Bangsat tuh orang, gua tau dia orang paling famous disekolah ini, tapi dia juga gak bisa mainin gadis yang gua sayang donk.” gumamku dalam hati.
“Ah, biarlah. Mungkin memang dia bukan ditakdirkan untukku. Mungkin ada seseorang yang telah dititipkan Tuhan padaku. Tapi, sekarang aku belum bisa menemukannya.” pikirku dengan penuh kebijaksanaan.
Ternyata memang, 2 bulan menjelang kelulusan. Aku menemukan seorang gadis yang membuatku terpana. Namanya Wicy Dia biasa-biasa saja, dan juga gak terlalu famous. Tapi hatinya baik. Dan mungkin dia juga menyukai aku yang kuper ini. Sayangnyaa aku benar-benar bodoh, aku tak berani mengungkapkan apa yang aku rasakan padanya.
Akhirnya, 1 bulan menjelang kelulusan, aku beranikan diri untuk menyatakan cinta ini. Dan yang aku dapat hanyalah kekecewaan. Ternyata juga salah satu pacar dari Rion. Aku ditolak mentah-mentah. “Ah, biarlah. Buat apa pacaran hanya menghabiskan duit aja. Pacaran itu sama dengan PERSAMAAN AKUNTANSI yaitu PACARAN = UTANG+MODAL.” hiburku pada diri sendiri.
Hari ini kelulusan, walau aku tidak pernah mengenal cinta di SMA ini. Tapi, aku bersyukur dapat lulus dengan nilai yang memuaskan. Dan bahkan sebulan setelah itu aku lulus di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Riau.
Cinta itu perahu, kita tidak akan tahu kemana ia akan berlabuh. Tapi tetaplah bersyukur, tanpa cinta engkau akan tetap bisa melihat indahnya dunia. Tanpa cinta, kau akan tetap bisa berdiri tegak. Namun, ketika kau sukses nanti. Aku pastikan akan banyak wanita yang mendekatimu. Dan disaat itulah cintamu berlabuh.


Senin, 01 Desember 2014

Akhir Sebuah Penantian


Aku William, salah satu siswa yang dapat menimba ilmu di sekolah impian semua orang, yaitu SMA Negeri 1 Bukit Gelang. Aku sih orangnya biasa-biasa aja, mungkin gak setenar orang-orang yang ada dilingkungan ku. Tapi, aku selalu berusaha menjadi salah satu bagian penting dari sekolah yang aku cintai.
Awalnya, aku berusaha menunjukkan sedikit kemampuanku di bidang Seni Tradisional. Hasilnya memuaskan, pada tahun pertama aku dapat menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua Sanggar Seni Randai. Disini aku dapat membuat sebuah naskah RANDAI yang berjudul “Balehan Si Pituah Tuo” yang sudah di tampilkan di TVRI Sumatera Barat. Sewaktu beranjak ke kelas XI, aku menjabat sebagai Ketua Sanggar Seni Intan Suri SMA Negeri 1 Bukit Gelang. Dan berselang beberapa waktu, aku pun terpilih sebagai Ketua Seksi Bidang VII Seni dan Budaya SMA Negeri 1 Bukit GelangNamun, bukan itu targetku disekolah yang ku cintai ini. Melainkan, jadi utusan sekolah dalam bidang Ekonomi di Olimpiade Sains Nasional.
Berawal dari kecintaan ku terhadap ilmu sosial sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dan berlanjut sampai sekarang. Pertama kali aku mengikuti Olimpiade sewaktu berada di kelas XI, yaitu “Smart Students Accounting Competition Universitas Bung Hatta 2013”. Diluar bayanganku, aku dapat meraih peringkat yang menakjubkan yaitu ranking 26 dari ratusan siswa se-Sumatera Bagian Tengah. Dari sini keangkuhan merajalela dalam hatiku. Menganggap enteng semua orang. Dan akhirnya aku tersentak dari keangkuhanku, saat aku hanya berada di posisi ke-4 dan tak dapat menembus 3 besar utusan sekolah di OSN Ekonomi. Sungguh mengecewakan.
Dari kejadian yang membuat aku tersentak dari semua buaian kesenangan itu, aku berfikir bahwa aku bukanlah apa-apa dibandingan 200-an siswa seangkatanku. Dari sini aku bertekad tidak akan angkuh seperti dahulu. Karena aku tahu, sainganku bukanlah hanya teman-temanku disini melainkan semua siswa SMA di luar sana.
“Memang tak mudah menjadi bagian penting dari sekolah terbaik ini.” gumamku dalam hati. Akhir-akhir ini memang banyak anak-anak IPA yang berprestasi dan ini melecut keinginan ku dengan teman-teman untuk menjadi juara dalam beberapa olimpiade. Tapi, apa yang ku harapkan tak semudah yang ku fikirkan. “Anak-anak IPA mendapat fasilitas yang lengkap dalam mereka menghadapi olimpiade sedangkan aku dan teman-teman IPS. Apa??? Kami merasa seperti anak-anak yang disisihkan disekolah ini.”. Kalimat ini selalu terfikir dalam benakku.
“Apaan sekolah, kalo olimpiade buat anak IPA cepet beritanya nyampe, lah buat anak IPS mah 1 hari mau olimpiade baru dikasih tau.” tutur sahabatku Hamdan kepadaku. “Iya sih, gimana mau kita juara kalo persiapan hanya 1 hari menjelang olimpiade” jawabku.
“Mereka selalu berkoar-koar anda pergi saja olimpiadenya dulu, nanti kalo masuk final baru uangnya diganti. Dan kalo juara bakal dapat bonus. Mereka gak mikir??? Kalo kami pergi olimpiade dengan motor dan harus menanggung semua resiko yang ada.” Selenehan sahabatku Onizuka.
Aku hanya tanggapi “Ya beginilah sekolah kita, kalo juara anaknya, kalo pecundang anak orang lain. Kalo bagus anaknya, kalo jelek anak orang lain.”
“Bro, ada Olimpiade Akuntansi di UNRI” sorak Rion dari jauh. “Wah, harus ikut nih” sahut Hamdan. Aku sempat berfikir dalam hati, “UNRI sejauh itukah arena yang harus aku hadapi?”.
Setelah urus ini itu, aku, Hamdan dan Rion pun berangkat ke UNRI tanpa sedikitpun pertanggungjawaban dari sekolah. Setelah sampai disana, kami nginap dirumah kakakku. Keesokkan harinya kami mendaftar, dan ternyata menjadi sekolah terjauh yang mendaftar. Setelah mendaftar kami pulang untuk mempersiapkan diri agar sukses pada olimpiade besok. Hari yang ditunggu-tunggu pun datang. Sewaktu pembukaan, kami kembali di deskriminasi. Tidak hanya disekolah, disini pun juga. Mereka tak mengganggap kami ada, aku sangat ingat ketika Ketua Pelaksana mengucapkan terima kasih pada SMA Negeri 1 Payakumbuh atas kedatangannya ke UNRI sebagai sekolah terjauh yang mengikuti di UNRI. Tanpa bicara sedikitpun tentang kami dari SMA Negeri 1 Bukit Gelang. Kesedihan pun semakin terasa ketika kami melihat semua sekolah memiliki guru pendamping. Tapi, kami apa? Jangankan guru pendamping, pendaftaran pun tidak di akomodir sekolah.
“Ah biarlah, orang yang teraniaya itu do’anya dijabah Allah SWT” gumamku dalam hati.
Olimpiade pun dimulai, selama olimpiade aku merasa bisa menjawab semua soal yang diberikan, karena rendahnya tingkat kesulitan soal itu. Setelah olimpiade selesai, aku berbincang dengan Hamdan dan Rion. “Gimana soalnya? Pasti bisa dijawab donk? Mudahkan?” selenehanku sombong. “Iya sih mudah, tapi bagi lawan kita tentu soal ini juga mudah.” jawab Rion pesimis. “Eh, kita harus juara. Kita harus buktikan pada sekolah bahwa kita bisa tanpa perhatian dari sekolah” kata Hamdan menyemangati. “Kita lihat saja besok gimana hasilnya” kata si Pesimis Rion. Kami pun pulang dan istirahat menunggu hasil keputusan besok.
Keesokaan harinya kami datang pagi sekali, dan langsung menuju papan pengumuman. Aku dan Hamdan terkejut melihat hasil yang ada. Kami hanya menduduki peringkat 13 dalam olimpiade Akuntansi se-Sumatera itu. Rion pun bergurau “Hahahaha, apa kataku. Kalian sih terlalu optimis”. Kami pun pulang dengan tangan kosong penuh kekecewaan. Dan menjadi kekecewaan ku yang kedua.
Beberapa bulan setelah itu, kembali ada olimpiade. Tapi, kali ini olimpiade Ekonomi di UNAND. Aku dan teman-teman pun kembali memupuk sedikit harapan untuk dapat menjadi juara.
Hari olimpiade itu pun tiba, aku dan teman-teman telah bersiap untuk pergi. Eh, surat tugas buat kami masih belum selasai, padahal hari udah jam 8. “Gimana mau sampe ke UNAND tepat waktu, kalo jam segini masih disekolah” geramku dalam hati. Akhirnya kami pun berangkat dan sampe disana olimpiadenya sudah dimulai.
Waktu untuk babak penyisihan pun berakhir, sambil menunggu pengumuman semi-finalis aku pun berkeliling UNAND dengan Onizuka. Detik-detik pengumuman pun datang, harap-harap cemas dihati ini memuncak. Dan akhirnya, aku tak bisa menembus babak semi-final. Ini menjadi kekecewaan ketiga ku selama sekolah disini.
Naik ke kelas XII dengan nilai yang memuaskan, walau ranking turun. Aku kembali melihat secercah harapan. Karena, dibulan November ada dua olimpiade Akuntansi yang pertama di Politeknik Negeri Padang dan yang kedua di Universitas Bung Hatta tempat dimana aku menjadi orang yang angkuh.
Persiapan matang ku jalani untuk 2 event akbar yang akan ku hadapi. Mulai dari belajar lebih giat dari biasanya, dan jarang ku lakukan yaitu berdo’a agar aku dapat meraih peringkat minimal finalis di kedua event akbar ini.
Hari yang ditunggu-tunggu pun datang, dengan dampingan dari Bu Nurhema guru Akuntansi terbaik di SMA Negeri 1 Bukit Gelang. Aku, Hamdan, Onizuka, Rion, dan beberapa teman lainnya bersiap untuk mengikuti babak penyisihan Olimpiade Akuntansi Se-Sumatera di Politeknik Negeri Padang. Dengan persiapan matang usaha dan do’a aku pun optimis dapat menembus babak final. Saat olimpiade berlangsung entah kenapa aku tak bisa menjawab beberapa soal yang harusnya dengan mudah bisa aku jawab. Persiapan matang mengenai Standar Akuntansi Keuangan (SAK) ternyata tidaklah cukup, karena soal-soalnya telah memakai standar akuntansi internasional SAK Berbasis IFRS. Seusai babak penyisihan dengan sedikit pesimis aku berdo’a pada Allah dalam shalatku “Yaa Allah, jika kau tak mengizinkan aku menembus babak final. Minimal masukanlah aku dalam 50 besar peserta disini Yaa Allah”. Saat aku kembali ke gedung olimpiade, panitia bersiap mengumumkan 38 finalis. Dan hasil ini membuat ku menahan air mata, walaupun Onizuka tau bahwa aku telah menangis di dalam hati. Bu Nurhema pun bergurau “Sudahlah, jangan ditangisi Willy. Kan masih ada di Bung Hatta 10 hari lagi.”. Ini menjadi kekecewaan ku yang keempat. Tapi, aku tetap senang karena Allah menjawab do’a ku. Dan aku berada tepat di urutan 50 dari 380-an peserta.
Hari-hari murung karena empat kali gagal menuju impian tetap ku lalui dengan tabah. Dan diberikan semangat oleh Hamdan “Sudahlah Wil, kamu harus bisa bersaing di Olimpiade Akuntansi Universitas Bung Hatta.”. Onizuka pun bicara begitu “Kita harus buktikan bahwa kita bisa di Olimpiade Akuntansi Universitas Bung Hatta.”.
Motivasi ini semakin memacu adrenalinku untuk menjadi juara. Walau sebelumnya aku memakai prinsip Ir.Soekarno “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, apabila terjatuh. Kamu akan jatuh diantara bintang-bintang”. Kali ini aku tak mau mematok hal yang terlalu tinggi dalam do’a ku. Dan aku berprinsip “Kita boleh optimis, tapi optimis pun harus realistis.”.
Kembali aku mempersiapkan diri, kali ini lebih matang. Karena aku juga mempelajari standar akuntansi internasional SAK Berbasis IFRS yang tak akan ditemukan di bangku SMA. Dan aku kembali berserah diri agar aku lebih dimudahkan Allah SWT.
Olimpiade yang membuat aku menjadi angkuh kembali datang padaku dengan judul yang sama “Smart Students Accounting Competition Universitas Bung Hatta 2014”. Masuk ke Auditorium Kampus 1 Bung Hatta dengan wajah optimistis. Olimpiade pun dimulai tepat pukul 10.20 WIB. Olimpiade berlangsung selama 80 menit dengan 100 butir soal. Aku agak lambat dari biasanya menjawab soal-soal yang ada. Dan aku dikejutkan bahwa waktu hanya tinggal 15 menit sedangkan aku baru menjawab sampai soal ke 60. Tanpa pikir panjang, ku balik soal itu, dan mulai dari angka 100. Alhasil, aku dapat menyelesaikan 84 soal dari 100 butir soal olimpiade ini.
Menunggu hasil, aku shalat dzuhur berjamaah di masjid Bung Hatta. Aku kembali berdo’a dengan optimis tapi realistis “Yaa Allah, jadikanlah aku finalis disini Yaa Allah. Jika aku tidak menjadi finalis disini. Mungkin, jalanku bukan di Akuntansi maupun Ekonomi. Aku akan beralih ke jurusan lain yang mungkin memang akan menjadi bidangku.”.
Sekembalinya aku ke Auditorium Bung Hatta. Aku langsung duduk di posisi terdepan. Dan berharap-harap cemas akan masuk final. Nama pertama pun diumumkan, dengan awal 055 yang merupakan kode sekolah SMA Negeri 1 Bukit Gelang di olimpiade ini. Tapi sayang, itu bukan namaku, melainkan nama Hamdan yang menjadi pemuncak dengan nilai yang tak terkejar lagi di penyisihan. Nama selanjutnya tidak berawal dari 055, dan di nama kelima kembali dengan awal 055. Lagi-lagi sayang, itu bukan nama ku, tapi nama Rion. Selanjutnya di nama kedelapan kembali ada 055, aku kembali kecewa. Karena itu bukan nama ku, melainkan nama Rea. Aku merasa semakin pesimis karena sampai nama kesepuluh tidak ada 055. Dan di nama kesebelas kembali muncul 055, namun menyakitkannya itu adalah nama Onizuka. Aku semakin dan makin pesimis, karena duabelas, tigabelas, dan empatbelas bukan dari 055. Sangat sedih, walau di nama kelimabelas kembali hadir 055. Tapi, aku tak yakin itu aku, sampai juri bicara “Dan yang terakhir, dengan nomor 055-00-12012 dari SMA Negeri 1 Bukit Gelang atas nama William”. Perasaan haru pun tak dapat ku tahan, dan langsung dengan gegas meminjam penggaris dan pena untuk persiapan final.
Di final, aku merasa sangat gemetar. Karena ini merupakan final pertamaku. Dengan waktu 60 menit. Menurutku tak akan ada orang yang bisa sampai Laporan Keuangan. Tapi aku dapat mencapai Laporan Keuangan yaitu Laporan Perubahan Ekuitas. Namun, aku tahu aku salah. Karena, aku mengunakan pendekatan Ikhtisar Laba/Rugi bukan Harga Pokok Penjualan yang tidak jelas tertera disoal.
Mungkin juga karena do’a dan usahaku hanya sampai final bukan sampai juara. Saat menunggu pengumuman juara, lagi-lagi Bu Nurhema bergurau “Kalo Willy masuk final gini, Ibu jadi senang, gak liat Willy nangis kayak di PNP lagi”. “Ah, Ibu ini” jawabku singkat.
Saat pengumuman pun, aku sudah tak ada beban lagi. Karena memang targetku hanyalah finalis bukan juara. Dari juara 1 sampai harapan 2 tidak ada dari SMA Negeri 1 Bukit Gelang. Hamdan ranking 6, Rea dan aku ranking 9 dan 10 karena point kami sama, Onizuka ranking 14, dan terakhir si pesimis Rion.
Aku pulang dengan bahagia, tanpa sedikitpun kekecewaan. Dan aku belajar dari empat kekecewaanku dan dua do’aku yang dijabah Allah SWT. Bahwa, kita bukanlah apa-apa tanpa Allah, dan Allah-lah yang Maha Cerdas. Tidaklah boleh seorang hamba sombong, atas ilmu yang diberikan Allah.
Penantianku atas sebuah prestise pun terwujud, dan aku selalu membangga-banggakan pada orang-orang bahwa aku adalah seorang finalis. Terima kasih Allah SWT, keluarga, sahabat, dan N.O. si adik kelas yang selalu mendukungku.