Kamis, 06 Juli 2017

Koperasi dan Sepakbola Indonesia


            Koperasi adalah organisasi ekonomi yang dimiliki dan dioperasikan demi kepentingan bersama. Koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.
            Dengan berkembangnya zaman seperti saat sekarang ini, koperasi di Indonesia sepertinya perlu dan bahkan sangat perlu mencontoh kepada sebuah klub sepakbola seperti Barcelona, Real Madrid, Bayern Munich dan Borrusia Dortmund yang dikelola berdasarkan prinsip koperasi.
Di Spanyol dan Jerman, 50%+1 dari kepemilikan klub sepakbola dimiliki oleh suporter. Kondisi itu membuat suporter memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan bagi klub dan mencegah investor bertindak sewenang-wenang untuk meraup keuntungan. Dimilikinya klub oleh suporter juga membuat suporter memiliki kedekatan secara batin, tak ragu untuk menggelontorkan uangnya bagi klub. Karena itu, fans adalah kunci mengalirnya keuntungan kepada klub-klub Jerman dan Spanyol. Menyakitinya sama saja dengan siap-siap berani menanggung kerugian.  Hal itu yang menjadikan tim-tim Jerman dan Spanyol selalu memberikan pelayanan terbaik untuk para suporter.
Dalam sepekbola modern, suporter adalah sebuah kunci dalam mendulang kesuksesan di industri sepakbola. Kontribusi utama dari suporter seperti pembelian tiket dan merchandise resmi klub. Liga Jerman bahkan menjadi liga dengan peringkat teratas dalam hal rataan kedatangan penonton ke stadion. Borussia Dortmund adalah klub yang stadionnya selalu hampir terisi penuh yang mencapai 95% lebih kedatangan penonton di setiap pertandingannya. Kita bandingkan dengan sepakbola Indonesia, yang terbaru menurut berbagai media olahraga Indonesia adalah kasus Arema FC dengan rataan kedatangan penonton terendah di Liga Gojek Traveloka membuat undian sepeda motor untuk para penonton yang datang ke stadion. Sungguh sebuah ironi ketika industri sepakbola yang harusnya berakar dari penonton sangat sulit untuk ditarik ke stadion.
Di sepakbola eropa, kita tidak pernah mendengar penunggakan gaji atau pemutusan kontrak sepihak karena pemain mengalami cedera. Karena memang kekuatan koperasi demi mewujudkan kepentingan bersama yang tentunya para suporter yang sangat cinta kepada klub tersebut. Kita bandingkan dengan di Indonesia yang banyak sekali kasus penunggakan gaji, yang paling sering disoroti adalah kasus penunggakan gaji dari Arema FC dan bahkan para pemainnya berkeinginan untuk meninggalkan klub karena ketidakjelasan soal gaji. Contoh lain adalah Alfin Tuassalamony seorang pemain muda berbakat Indonesia yang pernah bermain di beberapa liga di Eropa, ketika bermain di salah satu klub sepakbola Indonesia, dia mengalami cedera dan langsung diputus kontrak tanpa adanya kompensasi. Sungguh masih banyak lagi hal-hal yang tidak manusiawi dari sepakbola Indonesia.
Harapan pada masa depan koperasi di Indonesia dapat memiliki klub sepakbola sendiri disetiap daerah. Karena seperti yang kita tahu, bahwa industri sepakbola bisa menggerakan perekonomian sekitarnya. Bukan hanya kontrak pemain, pelatih, tim medis, ataupun staf klub, bahkan sampai para pedagang yang berjualan diarea stadion saat pertandingan berlangsung. Mengingat antusiasme sepakbola yang sangat besar dari masyarakat Indonesia, tentunya bukanlah sebuah harapan kosong ketika koperasi sepakbola mampu menggerakan ekonomi Indonesia dan ini pun sesuai dengan landasan kegiatan koperasi untuk gerakan ekonomi rakyat.




Rabu, 15 Februari 2017

Cinta, Sesal, dan Kehilangan

Menikmati mentari pagi memang selalu menyenangkan, apalagi dimasa banyaknya tugas kuliah dan organisasi seperti ini, nyanyian burung diranting pohon pun semakin menambah kesejukan menghirup nafas alam ciptaan-Nya pagi ini.
“Wil, ngapain bengong ngeliatin matahari gitu?”, ucap Raiyen membangunkanku dalam lamunan. “Eh, engga Rai, aku cuma terkesima aja dengan mentari pagi ini. Setelah beberapa hari kita selalu kesini hanya untuk melihatnya terbit, dan akhirnya hari ini tercapai.”, sahutku sambil masih tersenyum menatap sang mentari yang indah itu. Memang sudah hampir seminggu ini kami selalu kesini. Tapi sayangnya, setiap pagi selalu aja ada kabut yang menghalangi pemandangan indah sang mentari. Dan akhirnya hari ini kami berhasil untuk menikmatinya.
“Iya juga yaa, mungkin karna sekarang sedang musim penghujan. Ini minum dulu, sedikit menghangatkan badan.”, Raiyen menyodorkan segelas teh hangat. “Lumayan juga teh bikinanmu Rai.”, ucapku sambil terus menikmati mentari. “Bisa saja kamu Wil, gimana perkembangan kedekatan kamu dengan bendahara manis itu?”, ucap Raiyen yang membuatku terdiam.
“Rai, Wil buruan balik, aku ada praktikum pagi ini.”, sorak David memecah keheningan. Aku dan Raiyen pun segera berkemas untuk kembali ke habitat kami sebenarnya sebagai mahasiswa. Selama diperjalanan aku selalu terpikir akan kata-kata Raiyen tadi, “Gimana sih sebenarnya perasaanku sama dia? Ah, sudahlah toh kalo emang jodoh gabakal kemana.”, ucapku dalam hati.
Dua hari berlalu, kehidupan sebagai mahasiswa kura-kura memang sangat menyita waktu dan melelahkan. Terlebih lagi semester ini aku terlalu banyak mengikuti kegiatan dikampus. Apalagi kegiatan terakhir ini benar-benar menyita pikiranku, bukan hanya karena aku dipercaya untuk memegang kegiatan ini, tapi juga karena dia si bendahara manis yang akhir-akhir ini sering membuatku gagal fokus oleh senyumannya semenjak aku dan dia mencari sponsor ke daerah tetangga yang lumayan jauh. Hari ini kami kembali dijadwalkan untuk mencari sponsor berdua, walau ke daerah sekitaran kampus.
Singkat cerita, setelah capek keliling buat cari sponsor. Kami memutuskan untuk makan berdua di kedai ramen, sekalian karena aku juga lagi ngidam makan ramen. Sambil menunggu makanan datang, aku berbincang dengannya, “Ternyata gini yaa rasanya nyari sponsor.”, ucapku karena di kegiatan sebelumnya dia tergabung di divisi sponsorship. “Yaa, begitulah Wil. Ngomong ini itu, ujung-ujungnya dia bilang gaada dana untuk support acara kita.”, sahutnya. Walaupun kesal karena gaada progress hari ini, lagi-lagi senyumannya buat aku jadi semangat lagi untuk menyukseskan acara ini. “Hei Wil, jangan ngelamun, makanannya datang nih.”, dia mengagetkanku yang terkesima dengan senyumannya. “Eh, iya, eh gimana nih sumpitnya, eh gimana, aduh ….”, ucapku gugup karena ketahuan memperhatikan yang benar-benar mengalihkan duniaku. “Kenapa sih Wil? Kok jadi salting gitu sih? Sampe-sampe gabisa make sumpit.”, ucapnya seraya tertawa kecil. “Eh, gapapa kok. Sok lanjutin makannya.”, jawabku dengan wajah yang begitu malu. Tak lama setelah itu kamipun pulang.
“Makasih yaa hari ini udah mau nemenin aku buat cari sponsor sana-sini.”, ucapku untuk memulai chattingan malam ini. “Iya Wil, toh itu juga salah satu tugas aku kan sebagai bendahara.”, balasnya walau agak lama. Semenjak itu kami jadi sering chattingan, hampir tiap hari selalu ada cerita yang kami ceritakan, bahkan setelah kegiatan ini selesaipun kami masih sering chattingan. Chattingan yang absurd berhari-hari itu sepertinya benar-benar menumbuhkan rasa sayangku pada sosok yang menjadi bendahara kegiatan terakhirku tahun ini.
Setelah sebulan kedekatan ini, perlahan dia mulai berubah. Gak se-care biasanya dan hanya jawab dengan jawaban-jawaban singkat. Sebelum dia benar-benar menjauh, aku beranikan diri untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan, siang itu aku kerumahnya dengan alasan kegiatan yang baru selesai sebulan yang lalu. Memang untuk sedikit menyangkut kegiatan itu. Lalu aku mengajaknya jalan siang ini, walau dengan banyak alasan, akhirnya dia mau untuk diajak jalan siang ini. “Masuk dulu aja Wil, aku mau shalat dulu, ada Ibu kok didalam.”, ajaknya sebelum dia shalat. “Gausah deh, aku tunggu disini aja.”, jawabku sedikit parno untuk masuk kerumahnya.
Selesai dia shalat, kamipun langsung jalan. “Kita mau kemana Wil?”, tanyanya. “Makan siang dulu aja yaa, aku belum makan nih dari pagi. Sambilan mikir kita mau kemana.”, jawabku. Tak berapa lama setelah sampai ditempat makan, hujan pun turun. Setelah hujan reda, aku mengajaknya ke bukit dimana aku menikmati mentari terbit beberapa bulan yang lalu. Walau dengan agak berat hati, akhirnya dia mengiyakan ajakanku.
Sesampainya di bukit itu, cuaca mendung dan sedikit gerimis. Aku duduk disamping sambil memandang kota tempat kita kuliah. “Sebenarnya akhir-akhir ini, sebulan ini, gatau kenapa kamu selalu ada dipikiran aku. Aku sayang kamu!”, ucapku sambil mengeluarkan setangkai mawar pink, yang memang warna kesukaannya. “Kamu bercandakan? Maksudnya seperti sayang ke yang lain? Seperti ke sekretaris, acara, humas, dll kan?”, ucapnya sedikit ragu dengan kata-kataku. “Bukan, kamu pasti merasakan perhatian lebih dari aku, kamu pasti merasakan ada yang berubah dari sikap aku.”, jawabku. “Iya, aku rasain kok.”, ucapnya sambil mencium mawar itu. Hujanpun kembali turun, dan kami putuskan untuk langsung pulang, karena waktu maghribpun makin dekat.
Akhirnya sampai dirumahnya tepat diwaktu maghrib, dan dengan kondisi rok yang dia pakai begitu kotor, dan aku juga langsung pulang ke kosan dengan kuyup oleh hujan.
Malam itu aku langsung chat dia, “Makasih yaa udah nemenin aku main hari ini, hujan-hujanan, kotor-kotoran, basah-basahan, dan ngos-ngosan naik bukitnya. Makasih banget deh pokoknya, dan kata-kataku tadi pas ngasih bunga tadi itu serius dan ga boong sama sekali.”. Dia hanya membalas dengan tawa “wkwkwk” dan malam itu pun berlalu.
Paginya aku kembali chat dia, “Semalem kamu gadimarahinkan?”. “Engga kok, siap-siap shalat jum’at gih!” jawabnya sambil menyuruhku siap-siap untuk shalat jum’at. “Siap Buk!”, balasku. Dan ini menjadi chattingan terakhir aku dengannya, karena seminggu lebih aku chat dia gapernah dibalas, dan hanya di read. “Harusnya aku masuk waktu dia nyuruh masuk, harusnya aku salaman dan kenalan sama Ibunya, harusnya aku pamit dulu sebelum berangkat, harusnya aku gaajak dia hujan-hujanan dan kotor-kotoran, harusnya aku gangantar dia pulang selarut itu. Ahhh! Bodoh! Bodoh! Bodohnya kamu Wil!”, sesalku dalam hati. Tapi walaupun chat gadibales aku tetap usaha, dan akhirnya aku beranikan diri kerumahnya tanpa bilang dulu mau kesana.
“Assalamu’alaikum!”, sorakku sambil ngetok pintu. “Eh Wil, ada apa kesini? Gabilang-bilang dulu.”, ucapnya kaget melihatku dirumahnya. “Gapapa, aku cuma mau tau keadaan kamu aja, kamu baik-baik aja kan?”, jawabku. “Iya, baik aja kok. Sini masuk dulu, gaada orang sih dirumah.”, jawabnya seraya mengajakku untuk duduk diruang tamu. “Gausah didepan sini aja. Kamu kok gabales-bales chat aku sih?”, tanyaku langsung to the point. “Gapapa kok, aku bingung aja mau balas apa.”, jawabnya. Tiba-tiba Ibunya pulang, dan langsung ngomong “Tamu kok gadisuruh masuk sih?”. “Iya, gaenak tadi kan gaada orang dirumah.”, jawabnya. Dan akhirnya aku masuk keruang tamu dan kenalan sama Ibunya.
Obrolan kami berlanjut diruang tamu, “Kalo kamu berubah, karena aku omongan aku yang waktu di bukit itu. Dilupain aja, anggap aja aku gapernah ngomong itu.”, ucapku memecah keheningan. “Iyaa siap.”, jawabnya. Kamipun ngobrol sampai sore, dan akupun pamit pulang.
Hari-hari selanjutnya kita hanya chattingan hal yang penting aja, gakayak dulu waktu aku terjebak mencintainya. Sesalku sampai hari ini, “AKU KEHILANGAN SESEORANG YANG AKU SAYANGI KETIKA DIA TAHU KALAU AKU MENYAYANGINYA.”.