Sabtu, 29 November 2014

Semangat Api yang Membara


Kubuka mataku perlahan sambil menahan kantuk. Terlihat sinar yang terang menembus kaca jendela. Aku pun beranjak dari tempat tidurku. Kubuka jendela kamarku dan kulihat indahnya mentari pagi menyinari halaman rumah yang penuh dengan bunga-bunga indah disertai dengan hembusan angin yang sejuk. Setelah diam sejenak, aku tersadar bahwa aku belum bersiap-siap untuk sekolah. Ku segera mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Ku basahi seluruh tubuhku dengan air yang sangat dingin bagaikan air es yang baru saja keluar dari kulkas.  Setelah memakai seragam dengan rapi, segera saja aku menuju ruang depan.
“Bu, hari ini kita sarapan apa?” tanyaku.
“Sarapan seadanya saja ya nak, persediaan makanan kita tinggal sedikit, ibu belum punya uang untuk membeli makanan.” jawab ibu sambil membelai rambutku.
“Baik bu, tidak apa-apa kok. Alhamdulillah masih ada makanan.” kataku sambil duduk di kursi dan segera memakan sepiring nasi berisi tahu dan tempe dengan segelas the hangat.
Setelah sarapan, aku pun beranjak dari kursi dan segera pamit kepada ibu.
“Bu, Farah berangkat dulu ya…”
“Iya, hati-hati di jalan ya nak…”
Setelah pamit kepada ibu, aku segera mengambil sepedaku. Karena jarak sekolah dengan rumahku dekat, aku biasa berangkat sekolah dengan sepeda. Selain itu, ibu juga tidak mempunyai kendaraan untuk mengantarku ke sekolah. Memang, aku adalah anak orang yang kurang mampu. Rumahku sederhana dan tidak berisi barang-barang yang mewah. Tapi, aku tetap bersyukur karena masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk bisa bersekolah.
“Hai Farah!” sapa Dinda, sahabatku sesampainya di depan gerbang sekolah.
“Halo…” jawabku sembari turun dari sepeda. Kita pun berjalan menuju kelas sambil mengobrol tentang tugas-tugas yang belum selesai.
“Eh, apa itu?” langkahku terhenti saat melihat sebuah pengumuman di papan pengumuman sekolah.
“Ha? Lomba memasak masakan tradisional? Kapan??” Dinda mencermati pengumuman itu.
“Tanggal 24 Desember di Bangsal Sekolah.” lanjut Dinda sambil membenarkan letak kacamatanya. Dia memang memakai kacamata karena matanya minus.
“Teeeettt….!” tiba-tiba suara bel terdengar dengan nyaring. Aku dan Dinda segera berlari menuju kelas. Sesampai di kelas, kita langsung duduk masih dengan napas tersengal-sengal karena habis berlari terburu-buru.
“Farah….! Tungguu… Aku pulang sama kamu ya…” kejar Dinda tergesa-gesa.
“Iya, iya.” jawabku sambil mengayuh sepeda dengan pelan sambil menunggu Dinda. Rumah Dinda tidak terletak terlalu jauh dari sekolah, bahkan rumahnya berada di dekat rumahku. Jadi, dia juga sering pergi ke sekolah menggunakan sepeda. Walaupun dia anak orang yang berkecukupan, dia tidak sombong dan sangat suka berbagi. Beruntung sekali aku punya sahabat seperti dia.
“Eh, ngomong-ngomong, kamu jadi ikut lomba memasak masakan tradisional itu nggak?” kata Dinda setelah keluar dari gerbang sekolah.
“Hmm, gimana ya? Sebenarnya kalau aku mau ikut, aku bisa meminta tolong ibuku mengajariku memasak, ibuku kan sering memasak masakan tradisional.” jelasku pada Dinda yang memang tidak terlalu tahu tentang masakan tradisional. 
“Hmm, masakan tradisional ya? Apa kita coba dulu aja? Tapi, aku juga minta tolong ibumu mengajariku ya.. Masalahnya, ibuku tidak sempat mengajariku. Karena beliau masih terlalu sibuk dengan pekerjaannya.” saran Dinda.
“Hmm.. nanti aku tanya ibuku dulu ya. Ya udah aku duluan ya, dadaa..” sapaku saat sudah mendekati rumah. Dinda masih jalan terus karena rumahnya sedikit lebih jauh dari rumahku.
“Okee! Dadaa…” Dinda menyapa balik lalu langsung melaju ke rumahnya.     
“Assalamu’alaikum…” kuucap salam sambil mengetuk pintu rumah. Tak lama kemudian, ibu membukakan pintu.
“Wa’alaikumsalam…” jawab ibu.
Aku langsung masuk kamar dan menaruh tasku. Karena gerah, aku langsung mengambil handuk dan segera mandi. Tak lupa aku mengambil air wudhu dan segera melaksanakan sholat Ashar berjama’ah bersama ibu. Ibuku adalah seorang pedagang, beliau berjualan bubur untuk membantu menghidupi keluarga. Sementara ayahku sudah meninggal sejak aku masih kecil. Jadi, hanya aku dan ibu berdua yang tinggal dirumah.
“Farah… Kamu nggak lapar? Tadi kan belum makan? Ini ada ikan asin. Alhamdulillah tadi ibu mendapat keuntungan yang lumayan, maka ibu belikan ikan asin untukmu.” jelas ibu.
“Alhamdulillah, makasih ya bu.. Besok Farah bantuin berjualan ya bu, besok Farah pulangnya agak pagi, jadi bisa bantuin ibu.”
“Baik, tapi kamu nggak capek nak?”
“Enggak bu, nggak apa-apa kok. Kalau Farah bantu, siapa tahu kita bisa mendapat keuntungan yang lebih bu.” aku meyakinkan ibu agar mengijinkanku membantu berjualan.
“Baiklah, tapi tetap jaga kesehatanmu ya nak. Jangan sampai sakit.”
“Iya bu..” akhirnya ibu mengijinkanku membantu berjualan bubur. Ibu biasa berjualan di dekat jalan raya karena ramai dan memungkinkan banyak pembeli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar